MAKALAH
TELAAH HASIL
BELAJAR (THB)
“KONVERSI NILAI ”
DISUSUN OLEH:
KELAS : VII C FIKIH
NUR
ASYURA ( 151. 131. 163
)
JURUSAN PENDIDIKAN
AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH
DAN KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM
NEGERI (IAIN)
MATARAM
2016/2017
KATA PENGANTAR
Bismillahirrohmaanirrohim
Assalamu’alaikum wr...wb...
Segala puji
bagi Allah SWT karena atas rahmat dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan
makalah ini. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas dalam mata kuliah Telaah Hasil Belajar ( THB) ysng membahas tentang “KONVERSI NILAI”.
Kami menyadari
bahwa penyusunan dalam tugas ini banyak kekurangan baik dari segi isi,
penulisan, dan kata-kata yang digunakan. Oleh karena itu segala keritikan dan
saran yang bersifat membangun guna memperbaiki makalah ini.
Akhirnya,
meskipun dalam penulisan makalah ini kami telah mencurahkan semua kemampuan,
namun kami menyadari bahwa penulisan makalah ini jauh dari sempurna,
dikarenakan keterbatasan data dan referensi maupun kemampuan kami.
Mataram, 31 Oktober 2016
Penyusun
DAFTAS ISI
COVER
KATA
PENGANTAR ..................................................................................................... i
DAFTAR
ISI .................................................................................................................... ii
BAB
I PENDHULUAN ................................................................................................... 1
A.
Latar
Belakang ....................................................................................................... 1
B.
Rumusan
Masalah ................................................................................................... 1
C.
Tujuan .................................................................................................................... 2
BAB
II PEMBAHASAN ................................................................................................. 3
A.
Pengertian Konversi Nilai ....................................................................................... 3
B.
Teknik Pengolahan Nilai..................................................................................... .... 3
C.
Teknik Pengolahan dan Pengubahan (konversi) skor hasil tes belajar
menjadi nilai 5
D.
Konversi Nilai dalam bentuk Norma Relatif...................................................... .... 8
E.
Konversi Nilai dalam Bentuk Norma Absolut.................................................... 11
F.
Konversi Nilai dalam Bentuk Norma Kombinasi............................................... 14
G.
Cara Mengkonversi Nilai Norma Kelompok skala 5 ......................................... 14
BAB
III PENUTUP ..................................................................................................... .... 13
A.
Kesimpulan ....................................................................................................... .... 20
DAFTAR
PUSTAKA ................................................................................................. .... 21
MAKALAH
TELAAH HASIL
BELAJAR (THB)
“KONVERSI NILAI ”
DISUSUN OLEH:
KELAS : VII C FIKIH
NUR
ASYURA ( 151. 131. 163
)
JURUSAN PENDIDIKAN
AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH
DAN KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM
NEGERI (IAIN)
MATARAM
2016/2017
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Evaluasi pembelajaran siswa adalah salah satu kegiatan yang
merupakan kewajiban bagi setiap guru. mengapa. Karena hendaknya ia harus dapat
memberikan informasi kepada lembaga atau kepada siswa itu sendiri. Oleh karena
itu, seorang guru hendaknya memahami teknik pemberian skor, bahkan
langkah-langkah sebelum membuat tes pertanyaan.
Banyak beberapa pendapat ahli yang mengatakan bahwa penilaian berbeda dengan
penskoran. Dalam makalah ini, dijelaskan dengan jelas perbedaan yang sangat
mendasar dalam melakukan evaluasi terhadap hasil tes peserta didik.
Karena sering kali terjadi kekeliruan pendapat tentang
fungsi penilaian pencapaian belajar siswa. Banyak lembaga pendidikan atau
pengajar –secara tidak sadar atau sadar yang menganggap fungsi penilaian itu
semata-mata sebagai mekanisme untuk menyeleksi siswa atau mahasiswa dalam
kenaikan kelas, kenaikan tingkat, dan sebagai alat seleksi kelulusan pada akhir
tingkat program.
Terdapat macam-macam
teknik dan alat penilaian dalam pembelajaran khususnya di pendidikan Indonesia,
teknik dan alat penilaian hendaknya disesuaikan dengan tujuan dan sasaran
penilaian, situasi dan kondisi lingkungan siswa, serta kompetensi dasar yang
harus dikuasai seperti yang tercantum dalam kurikulum.
Selain itu, dalam
kegiatan penilaian hendaknya disiapkan soal atau alat penilaian yang tepat. Di
dalam menilai seorang guru boleh menggunakan konversi nilai 5, konversi nilai
9, konversi nilai 11, dan konversi nilai 100. Hasil dalam penilaian di harapkan
seorang siswa bisa mencapai nilai sesuai criteria ketuntasan yang di berikan
oleh seorang guru. Oleh karena itu, agar siswa dapat mendapat nilai yang
baikmseorang guru harus mengajarnya dengan baik pula dan harus bisa
mempertanggungjawabkannya.
B. Rumusan
Masalah
Berdasarkan keterangan diatas maka dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut:
1.
Apa definisi dari Konversi
Nilai?
2.
Bagaimana
teknik pengolahan nilai?
3.
Bagaimana
Teknik pengolahan dan pengubahan (konversi) skor hasil tes belajar menjadi
nilai?
4.
Bagaimana
Konversi Nilai
dalam Bentuk Norma Relatif
5.
Bagaimana
Konversi Nilai
dalam Bentuk Norma
absolut
6.
Bagaimana
konversi nilai dalam bentuk kombinasi
7.
Bagaimana cara mengkonversi
nilai norma kelompok dengan menggunakan skala 5
C.
Tujuan
1. Untuk
men
getahui
pengertian konversi
nilai
2. Untuk
mengetahui
teknik pengolahan nilai
3. untuk mengetahui Teknik pengolahan dan
pengubahan (konversi) skor hasil tes belajar menjadi nilai
4. untuk
mengetahui konversi nilai dalam bentuk norma relatif
5. untuk
mengetahui konversi nilai dalam bentuk absolut
6. untuk
mengetahui konversi nilai dalam bentuk kombinasi
7. untuk
mengetahui cara mengkomversi nilai norma kelompok dengan menggunakan skala 5
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Konversi Nilai
Konversi adalah adalah kegiatan mengubah atau
mengolah skor mentah menjadi huruf. Jika tidak ada kegiatan konversi ini, maka
nilai tidak bisa dinterpretasikan. Konversi nilai dapat dilakukan dengan
menggunakan Mean dan SD atau dikenal juga dengan batas lulus Mean (Mean = SD).
Cara yang kedua adalah dengan Mean Ideal dan SD Ideal atau Remmers.
Untuk cara pertama, langkah pertama yang harus dilakukan
adalah mencari nilai Mean dan SD, kemudian menentukan besarnya SUD (Skala Unit
Deviasi), dan langkah terakhir adalah menentukan batas atas dan batas bawah
B.
Teknik Pengolahan Nilai
Dari pelaksanaan penilaian (melalui pengukuran atau
tidak) dapat dikumpulkan sejumlah data atau informasi yang dibutuhkan dalam
evaluasi hasil belajar. Data yang terkumpul dari penilaian dengan teknik tes
akan berupa data kuantitatif, sedangkan teknik non tes akan menjaring data
kualitatif maupun kuantitatif sekaligus. Data yang terkumpul baik melalui
teknik tes maupun teknik non tes merupakan data mentah yang memerlukan
pengolahan lebih lanjut. Kegiatan mengolah data yang berhasil dikumpulkan
melalui kegiatan penilaian inilah yang disebut kegiatan pengolahan hasil
penilaian.
Prosedur pelaksanaan pengolahan hasil
penilaian adalah sebagai berikut :
· Menskor, yakni
memberikan skor pada hasil penilaian yang dapat dicapai oleh responden (peserta
didik). Untuk menskor atau memberikan angka diperlukan 3 (tiga) macam alat
bantu, yakni kunci jawaban, kunci skoring dan pedoman pengangkaan. Tiga macam
alat bantu penskoran atau pengangkaan berbeda-beda cara penggunaannya untuk
setiap butir soal yang ada dalam alat penilai.
· Mengubah skor mentah menjadi skor
standar, yakni kegiatan evaluator menghitung untuk mengubah skor
yang diperoleh peserta didik yang mengerjakan alat penilaian disesuaikan dengan
norma yang dipakai.
· Mengkonversikan
skor standar ke dalam nilai, yakni kegiatan akhir dari pengolahan
hasil penilaian yang berupa pengubah skor ke nilai, baik berupa huruf atau
angka. Hasil pengolahan hasil penilaian ini akan digunakan dalam kegiatan
penafsiran hasil penilaian. Untuk memudahkan penafsiran hasil penilaian, maka
hasil akhir pengolahan hasil penilaian dapat diadministrasikan dengan baik.[1]
Dalam bukunya Zainal Arifin ditambah
satu prosedur lagi yaitu melakukan analisis soal (jika diperlukan) untuk
mengetahui derajat validitas dan reabilitas soal, tingkat kesukaran soal (difficulty
index), dan daya pembeda.
Jika data sudah diolah dengan aturan-aturan tertentu,
langkah selanjutnya adalah menafsirkan data sehingga dapat memberikan makna.
Langkah penafsiran data sebenarnya tidak dapat dilepaskan dari pengolahan data
itu sendiri, karena setelah mengolah data dengan sendirinya akan menafsirkan
hasil pengolahan itu. Interpretasi terhadap suatu hasil evaluasi didasarkan atas
kriteria tertentu yang disebut norma. Norma bisa ditetapkan terlebih dahulu
secara rasional dan sistematis sebelum kegiatan evaluasi dilaksanakan, tetapi
dapat pula dibuat berdasarkan hasil-hasil yang diperoleh dalam melaksanakan
evaluasi. Sebaliknya, jika penafsiran data itu tidak berdasarkan kriteria atau
norma tertentu, maka itu termasuk kesalahan besar. Dalam kegiatan penilaian
hasil belajar, guru dapat menggunakan kriteria yang bersumber pada tujuan
setiap mata pelajaran (standar kompetensi, kompetensi dasar). Kompetensi itu
tentu masih bersifat umum, karena itu harus dijabarkan menjadi indikator yang
dapat diukur dan diamati.[2]
Untuk menafsirkan data, dapat digunakan dua jenis
penafsiran data, yaitu penafsiran kelompok dan penafsiran individual.
Penafsiran kelompok adalah penafsiran yang dilakukan untuk mengetahui
karakteristik kelompok berdasarkan data hasil evaluasi, seperti prestasi
kelompok, rata-rata kelompok, sikap kelompok terhadap guru dan materi pelajaran
yang diberikan, dan distribusi nilai kelompok.
Tujuan utamanya adalah sebagai persiapan untuk melakukan
penafsiran kelompok, untuk mengetahui sifat-sifat tertentu pada suatu kelompok,
dan untuk mengadakan perbandingan antar kelompok. Penafsiran individual adalah
penafsiran yang hanya tertuju pada individu saja. Misalnya, dalam kegiatan
bimbingan dan penyuluhan atau dalam situasi klinis lainnya. Tujuan utamnya
adalah untuk melihat tingkat kesiapan peserta didik (readiness),
pertumbuhan fisik, kemajuan belajar, dan kesulitan-kesulitan yang dihadapinya.[3]
Sebelum melakukan tes, guru harus menyusun pedoman
pemberian skor, bahkan sebaiknya guru sudah berpikir tentang strategi pemeberian
skor sejak merumuskan kalimat pada setiap butir soal. Pedoman penskoran sangat
penting disiapkan terutama bentuk soal esai. Hal ini dimaksudkan untuk
meminimalisai subjektivitas penilai. Begitu juga ketika melakukan tes domain
afektif dan psikomotor peserta didik, karena harus ditentukan ukuran-ukuran
sikap dan pilihan tindakan dari peserta didik dalam menguasai kompetensi yang
telah ditetapkan. Rumus penskoran yang digunakan bergantung pada bentuk
soalnya, sedangkan bobot (weight) bergantung pada tingkat kesukaran soal
(difficulty index), misalnya sukar, sedang, dan mudah.[4]
C. Teknik
pengolahan dan pengubahan (konversi) skor hasil tes belajar menjadi nilai
a. Perbedaan antara skor dan nilai
Sebelum sampai pada pembicaraan
tentang teknik pengolahan dan pengubahan (konversi) skor mentah hasil belajar
menjadi nilai standar, perlu dijelaskan terlebih dahulu tentang perbedaan
antara skor dan nilai. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa kadang-kadang
orang menganggap bahwa skor itu mempunyai pengertian yang sama dengan nilai,
padahal pengertian tersebut belum tentu benar.[5]
Skor adalah hasil pekerjaan
menyekor( =memberi angka) yang diperoleh dengan jalan menjumlahkan angka-angka
bagi setisp butir item yang oleh testee telah dijawab dengan betul, dengan
memperhitungkan bobot jawaban betulnya. Contoh berikut kiranya akan memperjelas
pernyataan di atas.
Misalkan tes hasil belajar dalam
bidang studi bahasa inggris menyajikan lima butir soal tes uraian dimana untuk
setiap butir soal yang dijawab dengan betul diberikan bobot 10. Siswa yang
bernama Fatimah, untuk kelima butir soal tes uraian tersebut memberikan jawaban
sebagai berikut:
-
Untuk
butir soal nomor 1 dapat dijawab dengan sempurna , sehingga kepadanya diberikan
skor 10
-
Untuk
butir soal nomor 2 hanya dijawab betul separuh –nya, sehingga skor yang
diberikan kepada siswa tersebut adalah 5
-
Untuk
soal nomor 3, hanya sekitar seperempat bagian saja yang dapat dijawab dengan
betul, sehingga diberikan skor 2,5
-
Untuk
butir soal nomor 4 dijawab betul sekitar separoh –nya, sehingga diberikan skor
5
-
Untuk
butir soal nomor 5 dijawab betul sekitar perempatnya , sehingga diberikan skor
7,5
Dengan demikian untuk kelima butir
soal tes uraian tersebut, siswa bernama Fatimah tersebut mendapatkan skor
sebesar = 10+ 5 + 2,5 + 5 + 7,5 = 30. Angka 30 disini belum dapat disebut
nilai, sebab angka 30 itu masih merupakan skor mentah (raw score), yang untuk
dapat disebut nilai masih memerlukan pengolahan atau pengubahan (=konversi).[6]
Contoh lainnya:
Misalkan tes hasil belajar dalam bidang studi ushul fiki
menyajikan 40 butir soal tes obyektif dengan ketentuan bahwa untuk setiap butir
soal yang dijawab dengan betul diberikan bobot 2. Dengan demikian secara ideal
atau secara teoritik apabila seseorang testee dapat menjawab dengan betul untuk
40 butir soal tersebut, maka testee tersebut akan memperoleh skor sebesar 40x 2 = 80. Angka 80 ini disebut skor
maksimum ideal (SMI) , yaitu skor tertinggi yang memungkinkan dapat dicapai
oleh testee kalau saja semua butir soal dapat dijawab dengan betul. Artinya,
dalam tes hasil belajar tersebut tidak mungkin ada testee yang skornya melebihi
.
Kalau saja dalam tes hasil belajar itu siswa bernama gunawan
dapat menjawab belul sebanyak 17 butir soal, sedangkan siswa bernama Hindun
menjawab dengan betul sebanyak 27 butir soal, maka skor yang diberikan kepada
Gunawan adalah 17 x 2 = 34, sedangkan skor yang diberikan kepada hindun adalah
27 x 2 = 54.
Jelaslah, bahwa angka 80 , 34 dan 54
itu bukanlah nilai atau belum dapat
disebut nilai , sebab angka 80 , 34 dan 54 itu
barulah menunjukkan banyaknya butir soal yang dapat dijawab dengan betul
setelah diperhitungkan dengan bobot jawaban betulnya. Karena itu untuk dapat
disebut nilai skor-skor mentah hasil tes itu masih memerlukan pengolahan dan
pengubahan.[7]
Adapun yang dimaksud dengan nilai
adalah angka (bisa juga huruf ), yang merupakan hasil ubahan dari skor yang
sudah dijadikan satu dengan skor-skor lainnya, serta disesuaikan pengaturannya
dengan standar tertentu. Itulah sebabnya mengapa nilai sering disebut skor
standar (standard score ).
Nilai, pada dasarnya adalah angka
atau huruf yang melambangkan: seberapa jauh atau seberapa besar kemampuan yang
telah ditunjukkan oleh tertee terhadap materi atau bahan yang diteskan, sesuai
dengan tujuan intruksional khusus yang telah ditentukan. Nilai, pada dasarnya
juga melambangkan penghargaan yang diberikan oleh tester kepada testee atas
jawaban betul yang diberikan oleh testee dalam tes hasil belajar. Artinya,
makin banyak jumlah butir soal dapat dijawab dengan betul, maka penghargaan
yang diberikan oleh tester kepada testee akan semakin tinggi. Sebaliknya, jika
jumlah butir item yang dapat dijawab dengan betul itu hanya sedikit, maka
penghargaan yang diberikan kepada testee juga kecil atau rendah.
Dari uraian diatas jelaslah bahwa
untuk sampai kepada nilai, maka skor-skor hasil tes yang pada hakikatnya masih
merupakan skor-skor mentah itu perlu diolah lebih dahulu sehingga dapat diubah
(dikonversi) menjadi skor yang sifatnya baku atau standar (=standard score ). [8]
Bagaimana cara mengolah dan mengubah skor mentah menjadi
skor standar
2. pengolahan dan pengubahan skor mentah hasil tes hasil
belajar menjadi nilai standar
Ada
dua hal penting yang perlu dipahami terlebih dahulu dalam pengolahan dan
pengubahan skor mentah menjadi skor standar atau nilai[9]
1)
Pengolahan
dan pengubahan skor mentah menjadi nilai dengan mengacu atau berdasarkan pada
kriterium (patokan). Cara pertama ini sering dikenal dengan istilah criterion
referenced yang dalam dunia pendidikan di Indonesia sering dikenal dengan
istilah penilaian ber-Acuan patokan ( PAP).
2)
Pengolahan
dan pengubahan skor mentah menjadi nilai dilakukan dengan mengacu pada norma
atau kelompok. Cara kedua ini sering dikenal dengan istilah norm referenced
evaluation, yang dalam dunia pendidikan sering dikenal dengan istilah
Penilaian ber-Acuan Norma (PAN), atau penilaian ber-Acuan Kelompok (PAK).
. Bahwa pengolahan dan pengubahan skor
mentah menjadi nilai itu dapat menggunakan berbagai macam skala, seperti skala
lima (stanfive), yaitu nilaistandar berskala lima atau yang sering dikenal
dengan istilah nilai huruf A,B, C,D, dan F,skala sembilan (stanine), yaitu
nilai standar berskala sembilan diman rentangan nilainya mulai dari 1 sampai
dengan 9 ( tidak ada nilai nol dan tidak ada nilai 10), skala sebelas (stanel=standard
eleven=eleven points scale, yaitu rentangan nilai mulai dari 0 sampai dengan
10), z score ( nilai standar z) dan T score ( nilai standar T).[10]
Dalam
dunia pendidikan di Indonesia ,nilai standar yang dipergunakan pada lembaga
pendidikan tingkat dasar dan tingkat menengah adalah nilai standar berskala
sebelas (stanel), sedangkan pada lembaga pendidikan tinggi pada umumnya
digunakan nilai standar berskala lima (stanfive) atau nilai huruf.
D.
Konversi Nilai dalam Bentuk Norma Relatif
Pengolahan
dan pengubahan skor mentah menjadi nilai standar dengan mendasarkan pada norma
atau kelompok sering di kenal dengan istilah PAN( Penilaian
beracuan norma )atau PAK (Penilaian Beracuan Kelompok)
Penilaian beracuan kelompok
ini berdasarkan pada asumsi sebagai berikut :
“ Bahwa pada setiap populasi peserta
didik yang sifatnya heterogen ( berbeda jenis kelamin, latar belakang,
lingkungan social , I.Q.nya, dan sebagainya) , akan selalu didapati kelompok
baik,kelompok sedang dan kelompok kurang yang distribusinya membentuk kurva
normal”
Asumsi ini
mengandung makna bahwa pada setiap kegiatan pengukuran dan penilaian hasil
belajar peserta didik , sebagian besar dari peserta didik tersebut nilai-nilai
hasil belajarnya terkonsentrasi atau memusat di sekitar nilai pertengahan (
nilai rata-rata) dan, hanya sebagian kecil saja yang nilainya sangat tinggi
atau sangat rendah
Penilaian
beracuan norma ini sering dikenal dengan istilah penentuan nilai secara
relative , dikatakan demikian ,sebab dalam penentuan nilai hasil tes , skor
mentah hasil tes yang dicapai oleh seorang peserta tes diperbandingkan dengan
skor mentah hasil tes dicapai oleh peserta tes yang lain ,sehingga kualitas
yang dimiliki oleh peserta tes akan sangat tergantung kepada atau sangat di
tentukan oleh kualitas kelompoknya,kedudukan testee sebenarnya dalam penentuan
norma bersifat relative.
Istilah
lain untuk penentuan nilai beracuan kelompok adalah:
v Penentuan
nilai secara actual
Dikatakan
demikian sebab penentuan nilai itu di dasarkan kepada distribusi skor yang
secara actual ( kenyataan) di capai oleh testee dalam suatu hasil belajar,yang
di jadikan patokan dalam penentuan nilai adalah prestasi kelompok atau
prestasiyang dicapai kelompok secara totalitas dan bukan prestasi individual
v Penentuan
secara empiric
Dikatakan
penentuan nilai secara empiric karena dilakukan dengan memperhatikan, atau
mempertimbangkan hasi tes secara empiric yaitu skor –skor hasil tes sebagaimana
yang dapat di lihat ,diamati,atau di saksikan dalam praktek di lapangan,setelah
tes berakhir , dan tidak mendasarkan diri pada patokan-patokan yang bersifat
teoritik
Penentuan
nilai dengan menggunakan standar relative ini sangat cocok untuk di terapkan
pada tes-tes sumatif( UAN,UAS,atau setara dengan itu),sebab dipandang lebih adil,
manusiawi,dan wajar.
Konversi nilai dalam bentuk norma
relatif merupakan bagian dari Penilaian Acuan Norma (PAN). Penilaian Acuan
Norma (PAN) adalah penilaian yang dilakukan dengan mengacu pada norma kelompok;
nilai-nilai yang diperoleh siswa diperbandingkan dengan nilai-nilai siswa yang
lain yang termasuk di dalam kelompok itu (Ngalim Purwanto: 2010).
Norma dalam hal ini mengacu pada
kapasitas atau prestasi kelompok, dan kelompok disini adalah semua siswa yang
mengikuti tes tersebut.
Penilaian acuan norma ini sering dikenal dengan istilah
penentuan nilai secara relative. Dikatakan demikian, sebab dalam penentuan
nilai hasil tes, skor mentah hasil tes yang dicapai oleh seorang peserta tes
dibandingkan dengan skor mentah hasil tes yang dicapai peserta tes yang lain,
sehingga kualitas yang dimiliki oleh seorang peserta akan sangat tergantung
kepada atau sangat ditentukan oleh kualitas kelompoknya.
Keuntungan sistem ini adalah dapat diketahui pretasi
kelompok atau kelas sehingga sekaligus dapat diketahui keberhasilan pengajaran
bagi semua siswa. Kelemahannya kurang meningkatkan kualitas hasil belajar. Jika
nilai rata-rata kelompok/kelasnya rendah, misalnya skor 40 dari seratus, maka
siswa yang memperoleh nilai 45 sudah dikatakan baik atau lulus, sebab berada
diatas rata-rata kelas sedangkan skor 45 dari skor maksimum skor 100 termasuk
rendah. Kelemahan yang lain ialah kurang praktis sebab hasil dihitung dahulu
nilai rata-rata kelas, apabila jika jumlah siswa cukup banyak. Sitem ini kurang
mengambarkan tercapainya tujuan intruksional sehingga tidak dapat dijadikan
ukuran dalam menilai keberhasilan pengajaran.
Apabila dalam penentuan nilai standar digunakan standar
relative, maka prestasi kelompok itu dihitung dengan mengunakan metode
statistik, dimana prestasi kelompok / nilai rata-rata kelas identik dengan
rata-rata hitung (arithmetik mean), yang dapat diperoleh dengan mengunakan
salah satu dari rumus yang disebutkan dibawah ini.
- Mx =
- Mx =
- Mx =
M' +
Dalam penilaian acuan norma juga dipertimbangkan variasi
atau variabilitas dan nilai-nilai hasil tes yang dicapai oleh testee secara
keseluruhan. Variasi itu perlu diperhitungkan dengan tujuan untuk mengetahui
tingkat homogenitas dan sekaligus tingkat heterogenitas dari nilai-nilai hasil
tes tersebut.
Dalam ilmu statistik, tingkat homogenitas atau heterogenitas
data itu dapat ditunjukkan oleh salah satu ukuran variabilitas data yang
dipandang memiliki kadar ketelitian yang tinggi, yaitu deviasi standar
(standard deviation). Yang dapat diperoleh dengan mengunakan salah satu dari
rumus-rumus yang dikemukakan berikut ini:
- SDx =
- SDx =
- SDx = i
4.
SDx = i
Setelah diketahui besarnya mean dan SD, langkah berikutnya
adalah membuat pedoman konversi nilai. Untuk menyusun pedoman ini ada dua hal
yang perlu diperhatikan, yaitu:
·
Menetapkan
skala yang akan digunakan, dan
·
Menghitung
dan menetapkan table konversi nilai untuk menentukan besar kecilnya nilai yang
diperoleh peserta didik.
Skala
yang sering digunakanuntuk membuat table konversi lima macam, yaitu:
1. Skala lima
2. Skala sembilan
3. Skala sebelas
4. Skala seratus
5. score
Pengunaan
skala tersebut disesuaikan dengan kebutuhan dan aturan yang ditetapkan oleh
lembaga pendidikan yang bersangkuta, serta banyak sedikitnya siswa yang akan
ditentukan atas besar kecilnya SD. Semakin besar SD maka semakin lebar pula
jarak skala tersebut dalam nilai mentahnya.
E.
Konversi Nilai dalam Bentuk Absolut
(PAP)
Penentuan nilai hasil tes belajar dengan menggunakan Penilaian Acuan
Patokan (PAP), mengandung arti bahwa nilai yang akan diberikan kepada testee
itu harus didasarkan pada standar mutlak (standard absolut) artinya, pemberian
nilai kepada testee itu dilaksanakan dengan jalan membandingkan antara skor
mentah hasil tes yang dimiliki oleh masing-masing individu testee, dengan skor
maksimum ideal (SMI) yang mungkin dapat dicapai oleh testee, kalau saja seluruh
soal tes dapat dijawab dengan betul.
Karena itu maka pada penentuan nilai
yang mengacu kepada kriterium atau patokan ini, tinggi rendahnya atau besar
kecilnya nilai yang diberikan kepada masing-masing individu testee, mutlak
ditentukan oleh besar kecil atau tinggi rendahnya skor yang dapat capai oleh
masing-masing testee yang bersangkutan. Itulah sebabnya mengapa penentuan nilai
dengan mengacu pada kriterium sering disebut sebagai: penentuan nilai secara
mutlak (absolute), atau penentuan nilai secara individual.
Pertama-tama
harus dipahami bahwa penilaian beracuan kriterium ini berdasar pada
asumsi, bahwa :
· Hal-hal yang harus dipelajari oleh
testee (murid,siswa,mahasiswa) adalah mempunyai struktur hirarkis tertentu dan
bahwa masing-masing taraf harus dikuasai secara baik sebelum testee tadi maju
atau sampai pada taraf selanjutnya.
· Evaluator atau tester (dalam hal ini
guru, dosen dan lain-lain) dapat mengidentifikasi masing-masing taraf itu
sampai tuntas atau setidak-tidaknya mendekati tuntas sehingga dapat disusun
alat pengukurnya.
· Apabila dalam penentuan nilai tes
hasil belajar itu digunakan acuan kriterium (menggunakan PAP), maka hal ini
mengandung arti bahwa nilai yang akan diberikan kepada testee itu harus
didasarkan pada standar mutlak, artinya, pemberian nilai kepada testee itu
dilaksanakan dengan jalan membandingkan antara skor mentah hasil tes yang
dimiliki oleh masing-masing individu testee, dengan skor maksimum ideal (SMI)
yang mungkin dapat dicapai oleh testee kalu saja seluruh soal tes dapat dijawab
dengan betul.
Karena itu maka pada penentuan nilai yang mengacu kepada kriterium atau patoakn
ini, tinggi rendahnya atau besar kecilnya nilai yang diberikan kepada
masing-masing individu testee, mutlak ditentukan oleh besar kecil atau tinggi
rendahnya skor yang dapat dicapai oleh masing-masing testee yang bersangkutan.
Itulah sebabnya mengapa penentuan nilai dengan mengacu pada kriterium sering
disebut sebagai penentuan nila secara individual.
Disamping
itu, karena penentuan nilai seorang testee dilakukan dengan jalan membandingkan
skor mentah hasil belajar dengan skor maksimum idealnya, maka penentuan nilai
yang beracuan pada kriterium ini juga sering dikenal dengan istilah penentuan
nilai secara teoritik, atau penentuan nilai secara das sollen. Dengan istilah
teoritik dimaksudkan disini adalah bahwa secara teoritik seorang siswa berhasil
mendapatkan nilai 100 misalnya apabila keseluruhan butir soal tes dapat dijawab
dengan betul oleh siswa tersebut. Dengan demikian, dalam penentuan nilai yang
beracuan pada kriterium, sebelum tes hasil belajar dilaksanakan, patokan itu
sudah dapat disusun (tanpa menunggu selesainya pelaksanaan tes).
Maka rumus yang dipakai adalah:
Nilai=
( skor mentah / skor maksimum ideal ) x 100 %
Sehingga
dengan menggunakan standar mutlak ini maka nasib seorang siswa mutlak
ditentukan oleh dirinya sendiri secara individual, tanpa melibatkan atau
mempertimbangkan sam sekali skor-skor yang dicapai oleh siswa lainnya. Tinggi
rendahnya nilai yang dicapai oleh masing-masing individu siswa mutlak
ditentukan oleh standar yang sudah ditentukan.
Nilai yang
berwujud angka yang penentuannya didasarkan pada standar mutlak ini sebenarnya
adalah merupakan angka persentase mengenai tingkat kedalaman atau penguasaan
testee terhadapa materi tes yang dihadapkan kepada mereka. Dalam pernyataan ini
terkandung makna bahwa nilai yang penentuannya didasarkan pada standar mutlak
itu menunjukkan berapa persen dari 100 % tujuan instruksioanal khusus yang
telah ditentukan telah dapat dicapai atau dipahami oleh testee.
Penialian
beracuan patokan (PAP) ini sangat baik diterapkan pada tes-tes formatif, dimana
tester (guru,dosen, dan lain-lain) ingin mengetahui sudah sampai sejauh manakah
peserta didiknya sudah terbentuk setelah mereka mengikuti program pengajaran
dalam jangka waktu tertentu . dengan menggunakan criterion referenced
evaluation dimana guru atau dosen dapat mengetahui berapa orang siswa atau
mahasiswa yang tingkat penguasaannya tinggi, cukup, rendah, maka guru atau
dosen tersebut dapat melakukan upaya-upaya yang dipandang perlu agar tujuan
pengajaran dapat tercapai dengan optimal.
Namun
criterion referenced evaluation ini seyogyanya jangan digunakan dalam
pengolahan dan penentuan nilai hasil tes sumatif seperti pada ulangan umum
dalam rangka mengisi nilai raport atau pada ujian akhir dalam rangka mengisi nilai
ijazah atau STTB, sebab criterion referenced evaluation ini dalam penerapannya
sama sekali tidak mempertimbangkan kemampuan kelompok (rata-rata kelas)
sehingga dikatakan “kurang manusiawi” maka dengan menerapkan acuan kriterium
ini dalam tes sumatif bisa terjadi bahwa sebagian besar siswa atau mahasiswa
tidak dapat dinyatakan lulus atau tidak dapat dinyatakan naik kelas
Kelemahan
lain dari penentuan nilai beracuan kriterium ini adalah, bahwa apabaila
butir-butir soal yang dikeluarkan dalam tes hasil belajar terlalu sukar, maka
dalam tes tersebut, testee betapapun pandainya akan memperoleh nilai-nilai yang
rendah. Sebaliknya apabila butir-butir soal yang dikeluarkandalam tes hasil
belajar itu terlalu mudah , maka testee betapapun bodohnya akan berhasil meraih
nilai-nilai yang tinggi, sehingga gambaran yang sebenarnya teentang tingkat
kemampuan atau penguasaan testee terhadap materi tes tidak dapat diperoleh
sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya. Dalam hubungan ini maka penilaian
beracuan kriterium ini sebaiknya diterapkan pada tes hasil belajar dimana tes
tersebut sudah bersifat standar( setidak-tidaknya mendekati standar), dalam
arti bahwa tes tersebut sudah mengalami uji coba secara berulang kali dan telah
memberikan bukti yang nyata bahwa tes tersebut sudah memiliki sifat handal baik
yang dilihat dari segi derajat kesulitanitemnya, daya pembeda itemnya, fungsi
distraktornya, validitasnya maupun reliabilitasnya.
F.
Konversi Nilai dalam Bentuk Kombinasi
Dalam menentukan nilai dengan
menggunakan konversi nilai kombinasi berarti kita menggabungkan antara
PAP (penilaian acuan patokan) dan PAN (penilaian acuan norma).
Dalam mengkonversi nilai dengan
menggunakan metode kombinasi antara PAP dan PAN, hal pertama yang kita lakukan
adalah membandingkan terlebih dahuluantara
jumlah siswa yang mencapai nilai A, B, C, D, dan E pada penentuan nilai yang
menggunakan standar mutlak(PAP : Penilaian Acuan Patokan) dengan penentuan
nilai yang menggunakan standar relatif (PAN : Penilaian Acuan Norma).
Dengan mengkombinasikan PAP dan PAN, maka kita akan bisa melihat lebih jelas
kelemahan dan kelebihan dari dua pendekatan tersebut. Sehingga, hasil penilaian
akan lebih sempurna.
G. Cara
Mengkonversi Nilai Norma Kelompok skala 5
Contoh:Seorang
guru Bahasa Indonesia membina 80 orang peserta didik, ia berencana
mengolah dengan PAN skor akhir Bahasa Indonesia menjadi nilai standar. Skornya
seperti pada tabel berikut:
79 49 48 74 81 98 87 8080 84 90 70 91 93 82 78
70 71 92 38 56 81 74 7368 72 65 51 65 93 83 86
90 35 83 73 74 43 86 8892 93 76 71 90 72 67 75
80 91 61 72 97 91 88 8170 74 99 95 80 59 71 77
63 60 83 82 60 67 89 6376 63 88 70 66 88 79 75
Dalam
mengkonversi nilai acuan norma kelompok, ada beberapa langkah yang harus
dilakukan terlebih dahulu. Sebagai berikut :
Menghitung
dan s
a.
Menentukan rentang
Rentang (r) =
data terbesar – data terkecil
= 99 – 35 = 64
b.
Menentukan
banyak kelas interval
Banyak kelas (k) = 1+ 3,3 . log n
= 1 + 3,3 . log 80
= 1 + 3,3 . 1, 9031
= 7,2802
Catatan : nilai “k” dibulatkan sehingga
banyak kelas interval = 7
c.
Menentukan panjang kelas
Panjang kelas =
= 64
=9,14
Catatan : Khusus untuk panjang kelas
pembulatan dapat tidak mengikuti rekuensi kelompok kaidah matematik, jadi kalau
pembulatan ke atas (=10) atau ke bawah (=9). Alasan : supaya semua skor dapat
masuk ke dalam setiap kelas interval.
d.
Membuat tabel distribusi frekuensi kelompok
Mula-mula menentukan ujung bawah kelas
interval pertama. Ujung bawah kelas interval pertama=35 (diambil skor
terkecil). Dengan banyak kelas interval 7 serta panjang kelas 9 dan 10 dapat
disusun dua buah rencana kelas interval sebagai berikut :
Panjang kelas=9
Kelas interval
Frekuensi
35-43
44-52
53-61
62-70
71-79
80-88
89-97
Panjang kelas=10
Kelas interval
Frekuensi
35-44
45-54
55-64
65-74
75-84
85-94
95-104
Dengan panjang kelas=9 memiliki kelas
interval terakhir 89-97, dengan demikian data berat badan lebih dari 97 tidak
dapat masuk ke dalam kelas interval terakhir.
Dengan panjang kelas=10 memiliki kelas
interval terakhir 95-104 dengan demikian semua data berat badan lebih dari 97
dapat masuk ke dalam kelas interval terakhir. Jadi sebaiknya menggunakan
panjang kelas=10. Selanjutnya disusun tabel distribusi frekuensi kelompok seperti
pada tabel di bawah ini :
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Evaluasi pembelajaran siswa adalah salah satu kegiatan yang
merupakan kewajiban bagi setiap guru. mengapa. Karena hendaknya ia harus dapat
memberikan informasi kepada lembaga atau kepada siswa itu sendiri. Oleh karena
itu, seorang guru hendaknya memahami teknik pemberian skor, bahkan
langkah-langkah sebelum membuat tes pertanyaan.
Banyak beberapa pendapat ahli yang mengatakan bahwa penilaian berbeda dengan penskoran. Dalam makalah ini, dijelaskan dengan jelas perbedaan yang sangat mendasar dalam melakukan evaluasi terhadap hasil tes peserta didik.
Banyak beberapa pendapat ahli yang mengatakan bahwa penilaian berbeda dengan penskoran. Dalam makalah ini, dijelaskan dengan jelas perbedaan yang sangat mendasar dalam melakukan evaluasi terhadap hasil tes peserta didik.
Karena sering kali terjadi kekeliruan pendapat tentang
fungsi penilaian pencapaian belajar siswa. Banyak lembaga pendidikan atau
pengajar –secara tidak sadar atau sadar yang menganggap fungsi penilaian itu
semata-mata sebagai mekanisme untuk menyeleksi siswa atau mahasiswa dalam
kenaikan kelas, kenaikan tingkat, dan sebagai alat seleksi kelulusan pada akhir
tingkat program.
Terdapat macam-macam
teknik dan alat penilaian dalam pembelajaran khususnya di pendidikan Indonesia,
teknik dan alat penilaian hendaknya disesuaikan dengan tujuan dan sasaran
penilaian, situasi dan kondisi lingkungan siswa, serta kompetensi dasar yang
harus dikuasai seperti yang tercantum dalam kurikulum.
Selain itu, dalam
kegiatan penilaian hendaknya disiapkan soal atau alat penilaian yang tepat. Di
dalam menilai seorang guru boleh menggunakan konversi nilai 5, konversi nilai
9, konversi nilai 11, dan konversi nilai 100. Hasil dalam penilaian di harapkan
seorang siswa bisa mencapai nilai sesuai criteria ketuntasan yang di berikan
oleh seorang guru. Oleh karena itu, agar siswa dapat mendapat nilai yang
baikmseorang guru harus mengajarnya dengan baik pula dan harus bisa
mempertanggungjawabkannya.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan keterangan diatas maka dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut:
1.
Apa definisi dari Konversi
Nilai?
2.
Bagaimana
teknik pengolahan nilai?
3.
Bagaimana
Teknik pengolahan dan pengubahan (konversi) skor hasil tes belajar menjadi
nilai?
4.
Bagaimana
Konversi Nilai
dalam Bentuk Norma Relatif
5.
Bagaimana
Konversi Nilai
dalam Bentuk Norma
absolut
6.
Bagaimana
konversi nilai dalam bentuk kombinasi
7.
Bagaimana cara mengkonversi
nilai norma kelompok dengan menggunakan skala 5
C.
Tujuan
1. Untuk
men
getahui
pengertian konversi
nilai
2. Untuk
mengetahui
teknik pengolahan nilai
3. untuk mengetahui Teknik pengolahan dan
pengubahan (konversi) skor hasil tes belajar menjadi nilai
4. untuk
mengetahui konversi nilai dalam bentuk norma relatif
5. untuk
mengetahui konversi nilai dalam bentuk absolut
6. untuk
mengetahui konversi nilai dalam bentuk kombinasi
7. untuk
mengetahui cara mengkomversi nilai norma kelompok dengan menggunakan skala 5
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Konversi Nilai
Konversi adalah adalah kegiatan mengubah atau
mengolah skor mentah menjadi huruf. Jika tidak ada kegiatan konversi ini, maka
nilai tidak bisa dinterpretasikan. Konversi nilai dapat dilakukan dengan
menggunakan Mean dan SD atau dikenal juga dengan batas lulus Mean (Mean = SD).
Cara yang kedua adalah dengan Mean Ideal dan SD Ideal atau Remmers.
Untuk cara pertama, langkah pertama yang harus dilakukan
adalah mencari nilai Mean dan SD, kemudian menentukan besarnya SUD (Skala Unit
Deviasi), dan langkah terakhir adalah menentukan batas atas dan batas bawah
B.
Teknik Pengolahan Nilai
Dari pelaksanaan penilaian (melalui pengukuran atau
tidak) dapat dikumpulkan sejumlah data atau informasi yang dibutuhkan dalam
evaluasi hasil belajar. Data yang terkumpul dari penilaian dengan teknik tes
akan berupa data kuantitatif, sedangkan teknik non tes akan menjaring data
kualitatif maupun kuantitatif sekaligus. Data yang terkumpul baik melalui
teknik tes maupun teknik non tes merupakan data mentah yang memerlukan
pengolahan lebih lanjut. Kegiatan mengolah data yang berhasil dikumpulkan
melalui kegiatan penilaian inilah yang disebut kegiatan pengolahan hasil
penilaian.
Prosedur pelaksanaan pengolahan hasil
penilaian adalah sebagai berikut :
· Menskor, yakni
memberikan skor pada hasil penilaian yang dapat dicapai oleh responden (peserta
didik). Untuk menskor atau memberikan angka diperlukan 3 (tiga) macam alat
bantu, yakni kunci jawaban, kunci skoring dan pedoman pengangkaan. Tiga macam
alat bantu penskoran atau pengangkaan berbeda-beda cara penggunaannya untuk
setiap butir soal yang ada dalam alat penilai.
· Mengubah skor mentah menjadi skor
standar, yakni kegiatan evaluator menghitung untuk mengubah skor
yang diperoleh peserta didik yang mengerjakan alat penilaian disesuaikan dengan
norma yang dipakai.
· Mengkonversikan
skor standar ke dalam nilai, yakni kegiatan akhir dari pengolahan
hasil penilaian yang berupa pengubah skor ke nilai, baik berupa huruf atau
angka. Hasil pengolahan hasil penilaian ini akan digunakan dalam kegiatan
penafsiran hasil penilaian. Untuk memudahkan penafsiran hasil penilaian, maka
hasil akhir pengolahan hasil penilaian dapat diadministrasikan dengan baik.[1]
Dalam bukunya Zainal Arifin ditambah
satu prosedur lagi yaitu melakukan analisis soal (jika diperlukan) untuk
mengetahui derajat validitas dan reabilitas soal, tingkat kesukaran soal (difficulty
index), dan daya pembeda.
Jika data sudah diolah dengan aturan-aturan tertentu,
langkah selanjutnya adalah menafsirkan data sehingga dapat memberikan makna.
Langkah penafsiran data sebenarnya tidak dapat dilepaskan dari pengolahan data
itu sendiri, karena setelah mengolah data dengan sendirinya akan menafsirkan
hasil pengolahan itu. Interpretasi terhadap suatu hasil evaluasi didasarkan atas
kriteria tertentu yang disebut norma. Norma bisa ditetapkan terlebih dahulu
secara rasional dan sistematis sebelum kegiatan evaluasi dilaksanakan, tetapi
dapat pula dibuat berdasarkan hasil-hasil yang diperoleh dalam melaksanakan
evaluasi. Sebaliknya, jika penafsiran data itu tidak berdasarkan kriteria atau
norma tertentu, maka itu termasuk kesalahan besar. Dalam kegiatan penilaian
hasil belajar, guru dapat menggunakan kriteria yang bersumber pada tujuan
setiap mata pelajaran (standar kompetensi, kompetensi dasar). Kompetensi itu
tentu masih bersifat umum, karena itu harus dijabarkan menjadi indikator yang
dapat diukur dan diamati.[2]
Untuk menafsirkan data, dapat digunakan dua jenis
penafsiran data, yaitu penafsiran kelompok dan penafsiran individual.
Penafsiran kelompok adalah penafsiran yang dilakukan untuk mengetahui
karakteristik kelompok berdasarkan data hasil evaluasi, seperti prestasi
kelompok, rata-rata kelompok, sikap kelompok terhadap guru dan materi pelajaran
yang diberikan, dan distribusi nilai kelompok.
Tujuan utamanya adalah sebagai persiapan untuk melakukan
penafsiran kelompok, untuk mengetahui sifat-sifat tertentu pada suatu kelompok,
dan untuk mengadakan perbandingan antar kelompok. Penafsiran individual adalah
penafsiran yang hanya tertuju pada individu saja. Misalnya, dalam kegiatan
bimbingan dan penyuluhan atau dalam situasi klinis lainnya. Tujuan utamnya
adalah untuk melihat tingkat kesiapan peserta didik (readiness),
pertumbuhan fisik, kemajuan belajar, dan kesulitan-kesulitan yang dihadapinya.[3]
Sebelum melakukan tes, guru harus menyusun pedoman
pemberian skor, bahkan sebaiknya guru sudah berpikir tentang strategi pemeberian
skor sejak merumuskan kalimat pada setiap butir soal. Pedoman penskoran sangat
penting disiapkan terutama bentuk soal esai. Hal ini dimaksudkan untuk
meminimalisai subjektivitas penilai. Begitu juga ketika melakukan tes domain
afektif dan psikomotor peserta didik, karena harus ditentukan ukuran-ukuran
sikap dan pilihan tindakan dari peserta didik dalam menguasai kompetensi yang
telah ditetapkan. Rumus penskoran yang digunakan bergantung pada bentuk
soalnya, sedangkan bobot (weight) bergantung pada tingkat kesukaran soal
(difficulty index), misalnya sukar, sedang, dan mudah.[4]
C. Teknik
pengolahan dan pengubahan (konversi) skor hasil tes belajar menjadi nilai
a. Perbedaan antara skor dan nilai
Sebelum sampai pada pembicaraan
tentang teknik pengolahan dan pengubahan (konversi) skor mentah hasil belajar
menjadi nilai standar, perlu dijelaskan terlebih dahulu tentang perbedaan
antara skor dan nilai. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa kadang-kadang
orang menganggap bahwa skor itu mempunyai pengertian yang sama dengan nilai,
padahal pengertian tersebut belum tentu benar.[5]
Skor adalah hasil pekerjaan
menyekor( =memberi angka) yang diperoleh dengan jalan menjumlahkan angka-angka
bagi setisp butir item yang oleh testee telah dijawab dengan betul, dengan
memperhitungkan bobot jawaban betulnya. Contoh berikut kiranya akan memperjelas
pernyataan di atas.
Misalkan tes hasil belajar dalam
bidang studi bahasa inggris menyajikan lima butir soal tes uraian dimana untuk
setiap butir soal yang dijawab dengan betul diberikan bobot 10. Siswa yang
bernama Fatimah, untuk kelima butir soal tes uraian tersebut memberikan jawaban
sebagai berikut:
-
Untuk
butir soal nomor 1 dapat dijawab dengan sempurna , sehingga kepadanya diberikan
skor 10
-
Untuk
butir soal nomor 2 hanya dijawab betul separuh –nya, sehingga skor yang
diberikan kepada siswa tersebut adalah 5
-
Untuk
soal nomor 3, hanya sekitar seperempat bagian saja yang dapat dijawab dengan
betul, sehingga diberikan skor 2,5
-
Untuk
butir soal nomor 4 dijawab betul sekitar separoh –nya, sehingga diberikan skor
5
-
Untuk
butir soal nomor 5 dijawab betul sekitar perempatnya , sehingga diberikan skor
7,5
Dengan demikian untuk kelima butir
soal tes uraian tersebut, siswa bernama Fatimah tersebut mendapatkan skor
sebesar = 10+ 5 + 2,5 + 5 + 7,5 = 30. Angka 30 disini belum dapat disebut
nilai, sebab angka 30 itu masih merupakan skor mentah (raw score), yang untuk
dapat disebut nilai masih memerlukan pengolahan atau pengubahan (=konversi).[6]
Contoh lainnya:
Misalkan tes hasil belajar dalam bidang studi ushul fiki
menyajikan 40 butir soal tes obyektif dengan ketentuan bahwa untuk setiap butir
soal yang dijawab dengan betul diberikan bobot 2. Dengan demikian secara ideal
atau secara teoritik apabila seseorang testee dapat menjawab dengan betul untuk
40 butir soal tersebut, maka testee tersebut akan memperoleh skor sebesar 40x 2 = 80. Angka 80 ini disebut skor
maksimum ideal (SMI) , yaitu skor tertinggi yang memungkinkan dapat dicapai
oleh testee kalau saja semua butir soal dapat dijawab dengan betul. Artinya,
dalam tes hasil belajar tersebut tidak mungkin ada testee yang skornya melebihi
.
Kalau saja dalam tes hasil belajar itu siswa bernama gunawan
dapat menjawab belul sebanyak 17 butir soal, sedangkan siswa bernama Hindun
menjawab dengan betul sebanyak 27 butir soal, maka skor yang diberikan kepada
Gunawan adalah 17 x 2 = 34, sedangkan skor yang diberikan kepada hindun adalah
27 x 2 = 54.
Jelaslah, bahwa angka 80 , 34 dan 54
itu bukanlah nilai atau belum dapat
disebut nilai , sebab angka 80 , 34 dan 54 itu
barulah menunjukkan banyaknya butir soal yang dapat dijawab dengan betul
setelah diperhitungkan dengan bobot jawaban betulnya. Karena itu untuk dapat
disebut nilai skor-skor mentah hasil tes itu masih memerlukan pengolahan dan
pengubahan.[7]
Adapun yang dimaksud dengan nilai
adalah angka (bisa juga huruf ), yang merupakan hasil ubahan dari skor yang
sudah dijadikan satu dengan skor-skor lainnya, serta disesuaikan pengaturannya
dengan standar tertentu. Itulah sebabnya mengapa nilai sering disebut skor
standar (standard score ).
Nilai, pada dasarnya adalah angka
atau huruf yang melambangkan: seberapa jauh atau seberapa besar kemampuan yang
telah ditunjukkan oleh tertee terhadap materi atau bahan yang diteskan, sesuai
dengan tujuan intruksional khusus yang telah ditentukan. Nilai, pada dasarnya
juga melambangkan penghargaan yang diberikan oleh tester kepada testee atas
jawaban betul yang diberikan oleh testee dalam tes hasil belajar. Artinya,
makin banyak jumlah butir soal dapat dijawab dengan betul, maka penghargaan
yang diberikan oleh tester kepada testee akan semakin tinggi. Sebaliknya, jika
jumlah butir item yang dapat dijawab dengan betul itu hanya sedikit, maka
penghargaan yang diberikan kepada testee juga kecil atau rendah.
Dari uraian diatas jelaslah bahwa
untuk sampai kepada nilai, maka skor-skor hasil tes yang pada hakikatnya masih
merupakan skor-skor mentah itu perlu diolah lebih dahulu sehingga dapat diubah
(dikonversi) menjadi skor yang sifatnya baku atau standar (=standard score ). [8]
Bagaimana cara mengolah dan mengubah skor mentah menjadi
skor standar
2. pengolahan dan pengubahan skor mentah hasil tes hasil
belajar menjadi nilai standar
Ada
dua hal penting yang perlu dipahami terlebih dahulu dalam pengolahan dan
pengubahan skor mentah menjadi skor standar atau nilai[9]
1)
Pengolahan
dan pengubahan skor mentah menjadi nilai dengan mengacu atau berdasarkan pada
kriterium (patokan). Cara pertama ini sering dikenal dengan istilah criterion
referenced yang dalam dunia pendidikan di Indonesia sering dikenal dengan
istilah penilaian ber-Acuan patokan ( PAP).
2)
Pengolahan
dan pengubahan skor mentah menjadi nilai dilakukan dengan mengacu pada norma
atau kelompok. Cara kedua ini sering dikenal dengan istilah norm referenced
evaluation, yang dalam dunia pendidikan sering dikenal dengan istilah
Penilaian ber-Acuan Norma (PAN), atau penilaian ber-Acuan Kelompok (PAK).
. Bahwa pengolahan dan pengubahan skor
mentah menjadi nilai itu dapat menggunakan berbagai macam skala, seperti skala
lima (stanfive), yaitu nilaistandar berskala lima atau yang sering dikenal
dengan istilah nilai huruf A,B, C,D, dan F,skala sembilan (stanine), yaitu
nilai standar berskala sembilan diman rentangan nilainya mulai dari 1 sampai
dengan 9 ( tidak ada nilai nol dan tidak ada nilai 10), skala sebelas (stanel=standard
eleven=eleven points scale, yaitu rentangan nilai mulai dari 0 sampai dengan
10), z score ( nilai standar z) dan T score ( nilai standar T).[10]
Dalam
dunia pendidikan di Indonesia ,nilai standar yang dipergunakan pada lembaga
pendidikan tingkat dasar dan tingkat menengah adalah nilai standar berskala
sebelas (stanel), sedangkan pada lembaga pendidikan tinggi pada umumnya
digunakan nilai standar berskala lima (stanfive) atau nilai huruf.
D.
Konversi Nilai dalam Bentuk Norma Relatif
Pengolahan
dan pengubahan skor mentah menjadi nilai standar dengan mendasarkan pada norma
atau kelompok sering di kenal dengan istilah PAN( Penilaian
beracuan norma )atau PAK (Penilaian Beracuan Kelompok)
Penilaian beracuan kelompok
ini berdasarkan pada asumsi sebagai berikut :
“ Bahwa pada setiap populasi peserta
didik yang sifatnya heterogen ( berbeda jenis kelamin, latar belakang,
lingkungan social , I.Q.nya, dan sebagainya) , akan selalu didapati kelompok
baik,kelompok sedang dan kelompok kurang yang distribusinya membentuk kurva
normal”
Asumsi ini
mengandung makna bahwa pada setiap kegiatan pengukuran dan penilaian hasil
belajar peserta didik , sebagian besar dari peserta didik tersebut nilai-nilai
hasil belajarnya terkonsentrasi atau memusat di sekitar nilai pertengahan (
nilai rata-rata) dan, hanya sebagian kecil saja yang nilainya sangat tinggi
atau sangat rendah
Penilaian
beracuan norma ini sering dikenal dengan istilah penentuan nilai secara
relative , dikatakan demikian ,sebab dalam penentuan nilai hasil tes , skor
mentah hasil tes yang dicapai oleh seorang peserta tes diperbandingkan dengan
skor mentah hasil tes dicapai oleh peserta tes yang lain ,sehingga kualitas
yang dimiliki oleh peserta tes akan sangat tergantung kepada atau sangat di
tentukan oleh kualitas kelompoknya,kedudukan testee sebenarnya dalam penentuan
norma bersifat relative.
Istilah
lain untuk penentuan nilai beracuan kelompok adalah:
v Penentuan
nilai secara actual
Dikatakan
demikian sebab penentuan nilai itu di dasarkan kepada distribusi skor yang
secara actual ( kenyataan) di capai oleh testee dalam suatu hasil belajar,yang
di jadikan patokan dalam penentuan nilai adalah prestasi kelompok atau
prestasiyang dicapai kelompok secara totalitas dan bukan prestasi individual
v Penentuan
secara empiric
Dikatakan
penentuan nilai secara empiric karena dilakukan dengan memperhatikan, atau
mempertimbangkan hasi tes secara empiric yaitu skor –skor hasil tes sebagaimana
yang dapat di lihat ,diamati,atau di saksikan dalam praktek di lapangan,setelah
tes berakhir , dan tidak mendasarkan diri pada patokan-patokan yang bersifat
teoritik
Penentuan
nilai dengan menggunakan standar relative ini sangat cocok untuk di terapkan
pada tes-tes sumatif( UAN,UAS,atau setara dengan itu),sebab dipandang lebih adil,
manusiawi,dan wajar.
Konversi nilai dalam bentuk norma
relatif merupakan bagian dari Penilaian Acuan Norma (PAN). Penilaian Acuan
Norma (PAN) adalah penilaian yang dilakukan dengan mengacu pada norma kelompok;
nilai-nilai yang diperoleh siswa diperbandingkan dengan nilai-nilai siswa yang
lain yang termasuk di dalam kelompok itu (Ngalim Purwanto: 2010).
Norma dalam hal ini mengacu pada
kapasitas atau prestasi kelompok, dan kelompok disini adalah semua siswa yang
mengikuti tes tersebut.
Penilaian acuan norma ini sering dikenal dengan istilah
penentuan nilai secara relative. Dikatakan demikian, sebab dalam penentuan
nilai hasil tes, skor mentah hasil tes yang dicapai oleh seorang peserta tes
dibandingkan dengan skor mentah hasil tes yang dicapai peserta tes yang lain,
sehingga kualitas yang dimiliki oleh seorang peserta akan sangat tergantung
kepada atau sangat ditentukan oleh kualitas kelompoknya.
Keuntungan sistem ini adalah dapat diketahui pretasi
kelompok atau kelas sehingga sekaligus dapat diketahui keberhasilan pengajaran
bagi semua siswa. Kelemahannya kurang meningkatkan kualitas hasil belajar. Jika
nilai rata-rata kelompok/kelasnya rendah, misalnya skor 40 dari seratus, maka
siswa yang memperoleh nilai 45 sudah dikatakan baik atau lulus, sebab berada
diatas rata-rata kelas sedangkan skor 45 dari skor maksimum skor 100 termasuk
rendah. Kelemahan yang lain ialah kurang praktis sebab hasil dihitung dahulu
nilai rata-rata kelas, apabila jika jumlah siswa cukup banyak. Sitem ini kurang
mengambarkan tercapainya tujuan intruksional sehingga tidak dapat dijadikan
ukuran dalam menilai keberhasilan pengajaran.
Apabila dalam penentuan nilai standar digunakan standar
relative, maka prestasi kelompok itu dihitung dengan mengunakan metode
statistik, dimana prestasi kelompok / nilai rata-rata kelas identik dengan
rata-rata hitung (arithmetik mean), yang dapat diperoleh dengan mengunakan
salah satu dari rumus yang disebutkan dibawah ini.
- Mx =
- Mx =
- Mx = M' +
Dalam penilaian acuan norma juga dipertimbangkan variasi
atau variabilitas dan nilai-nilai hasil tes yang dicapai oleh testee secara
keseluruhan. Variasi itu perlu diperhitungkan dengan tujuan untuk mengetahui
tingkat homogenitas dan sekaligus tingkat heterogenitas dari nilai-nilai hasil
tes tersebut.
Dalam ilmu statistik, tingkat homogenitas atau heterogenitas
data itu dapat ditunjukkan oleh salah satu ukuran variabilitas data yang
dipandang memiliki kadar ketelitian yang tinggi, yaitu deviasi standar
(standard deviation). Yang dapat diperoleh dengan mengunakan salah satu dari
rumus-rumus yang dikemukakan berikut ini:
- SDx =
- SDx =
- SDx = i
4.
SDx = i
Setelah diketahui besarnya mean dan SD, langkah berikutnya
adalah membuat pedoman konversi nilai. Untuk menyusun pedoman ini ada dua hal
yang perlu diperhatikan, yaitu:
·
Menetapkan
skala yang akan digunakan, dan
·
Menghitung
dan menetapkan table konversi nilai untuk menentukan besar kecilnya nilai yang
diperoleh peserta didik.
Skala
yang sering digunakanuntuk membuat table konversi lima macam, yaitu:
1. Skala lima
2. Skala sembilan
3. Skala sebelas
4. Skala seratus
5. score
Pengunaan
skala tersebut disesuaikan dengan kebutuhan dan aturan yang ditetapkan oleh
lembaga pendidikan yang bersangkuta, serta banyak sedikitnya siswa yang akan
ditentukan atas besar kecilnya SD. Semakin besar SD maka semakin lebar pula
jarak skala tersebut dalam nilai mentahnya.
E.
Konversi Nilai dalam Bentuk Absolut
(PAP)
Penentuan nilai hasil tes belajar dengan menggunakan Penilaian Acuan
Patokan (PAP), mengandung arti bahwa nilai yang akan diberikan kepada testee
itu harus didasarkan pada standar mutlak (standard absolut) artinya, pemberian
nilai kepada testee itu dilaksanakan dengan jalan membandingkan antara skor
mentah hasil tes yang dimiliki oleh masing-masing individu testee, dengan skor
maksimum ideal (SMI) yang mungkin dapat dicapai oleh testee, kalau saja seluruh
soal tes dapat dijawab dengan betul.
Karena itu maka pada penentuan nilai
yang mengacu kepada kriterium atau patokan ini, tinggi rendahnya atau besar
kecilnya nilai yang diberikan kepada masing-masing individu testee, mutlak
ditentukan oleh besar kecil atau tinggi rendahnya skor yang dapat capai oleh
masing-masing testee yang bersangkutan. Itulah sebabnya mengapa penentuan nilai
dengan mengacu pada kriterium sering disebut sebagai: penentuan nilai secara
mutlak (absolute), atau penentuan nilai secara individual.
Pertama-tama
harus dipahami bahwa penilaian beracuan kriterium ini berdasar pada
asumsi, bahwa :
· Hal-hal yang harus dipelajari oleh
testee (murid,siswa,mahasiswa) adalah mempunyai struktur hirarkis tertentu dan
bahwa masing-masing taraf harus dikuasai secara baik sebelum testee tadi maju
atau sampai pada taraf selanjutnya.
· Evaluator atau tester (dalam hal ini
guru, dosen dan lain-lain) dapat mengidentifikasi masing-masing taraf itu
sampai tuntas atau setidak-tidaknya mendekati tuntas sehingga dapat disusun
alat pengukurnya.
· Apabila dalam penentuan nilai tes
hasil belajar itu digunakan acuan kriterium (menggunakan PAP), maka hal ini
mengandung arti bahwa nilai yang akan diberikan kepada testee itu harus
didasarkan pada standar mutlak, artinya, pemberian nilai kepada testee itu
dilaksanakan dengan jalan membandingkan antara skor mentah hasil tes yang
dimiliki oleh masing-masing individu testee, dengan skor maksimum ideal (SMI)
yang mungkin dapat dicapai oleh testee kalu saja seluruh soal tes dapat dijawab
dengan betul.
Karena itu maka pada penentuan nilai yang mengacu kepada kriterium atau patoakn
ini, tinggi rendahnya atau besar kecilnya nilai yang diberikan kepada
masing-masing individu testee, mutlak ditentukan oleh besar kecil atau tinggi
rendahnya skor yang dapat dicapai oleh masing-masing testee yang bersangkutan.
Itulah sebabnya mengapa penentuan nilai dengan mengacu pada kriterium sering
disebut sebagai penentuan nila secara individual.
Disamping
itu, karena penentuan nilai seorang testee dilakukan dengan jalan membandingkan
skor mentah hasil belajar dengan skor maksimum idealnya, maka penentuan nilai
yang beracuan pada kriterium ini juga sering dikenal dengan istilah penentuan
nilai secara teoritik, atau penentuan nilai secara das sollen. Dengan istilah
teoritik dimaksudkan disini adalah bahwa secara teoritik seorang siswa berhasil
mendapatkan nilai 100 misalnya apabila keseluruhan butir soal tes dapat dijawab
dengan betul oleh siswa tersebut. Dengan demikian, dalam penentuan nilai yang
beracuan pada kriterium, sebelum tes hasil belajar dilaksanakan, patokan itu
sudah dapat disusun (tanpa menunggu selesainya pelaksanaan tes).
Maka rumus yang dipakai adalah:
|
Sehingga
dengan menggunakan standar mutlak ini maka nasib seorang siswa mutlak
ditentukan oleh dirinya sendiri secara individual, tanpa melibatkan atau
mempertimbangkan sam sekali skor-skor yang dicapai oleh siswa lainnya. Tinggi
rendahnya nilai yang dicapai oleh masing-masing individu siswa mutlak
ditentukan oleh standar yang sudah ditentukan.
Nilai yang
berwujud angka yang penentuannya didasarkan pada standar mutlak ini sebenarnya
adalah merupakan angka persentase mengenai tingkat kedalaman atau penguasaan
testee terhadapa materi tes yang dihadapkan kepada mereka. Dalam pernyataan ini
terkandung makna bahwa nilai yang penentuannya didasarkan pada standar mutlak
itu menunjukkan berapa persen dari 100 % tujuan instruksioanal khusus yang
telah ditentukan telah dapat dicapai atau dipahami oleh testee.
Penialian
beracuan patokan (PAP) ini sangat baik diterapkan pada tes-tes formatif, dimana
tester (guru,dosen, dan lain-lain) ingin mengetahui sudah sampai sejauh manakah
peserta didiknya sudah terbentuk setelah mereka mengikuti program pengajaran
dalam jangka waktu tertentu . dengan menggunakan criterion referenced
evaluation dimana guru atau dosen dapat mengetahui berapa orang siswa atau
mahasiswa yang tingkat penguasaannya tinggi, cukup, rendah, maka guru atau
dosen tersebut dapat melakukan upaya-upaya yang dipandang perlu agar tujuan
pengajaran dapat tercapai dengan optimal.
Namun
criterion referenced evaluation ini seyogyanya jangan digunakan dalam
pengolahan dan penentuan nilai hasil tes sumatif seperti pada ulangan umum
dalam rangka mengisi nilai raport atau pada ujian akhir dalam rangka mengisi nilai
ijazah atau STTB, sebab criterion referenced evaluation ini dalam penerapannya
sama sekali tidak mempertimbangkan kemampuan kelompok (rata-rata kelas)
sehingga dikatakan “kurang manusiawi” maka dengan menerapkan acuan kriterium
ini dalam tes sumatif bisa terjadi bahwa sebagian besar siswa atau mahasiswa
tidak dapat dinyatakan lulus atau tidak dapat dinyatakan naik kelas
Kelemahan
lain dari penentuan nilai beracuan kriterium ini adalah, bahwa apabaila
butir-butir soal yang dikeluarkan dalam tes hasil belajar terlalu sukar, maka
dalam tes tersebut, testee betapapun pandainya akan memperoleh nilai-nilai yang
rendah. Sebaliknya apabila butir-butir soal yang dikeluarkandalam tes hasil
belajar itu terlalu mudah , maka testee betapapun bodohnya akan berhasil meraih
nilai-nilai yang tinggi, sehingga gambaran yang sebenarnya teentang tingkat
kemampuan atau penguasaan testee terhadap materi tes tidak dapat diperoleh
sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya. Dalam hubungan ini maka penilaian
beracuan kriterium ini sebaiknya diterapkan pada tes hasil belajar dimana tes
tersebut sudah bersifat standar( setidak-tidaknya mendekati standar), dalam
arti bahwa tes tersebut sudah mengalami uji coba secara berulang kali dan telah
memberikan bukti yang nyata bahwa tes tersebut sudah memiliki sifat handal baik
yang dilihat dari segi derajat kesulitanitemnya, daya pembeda itemnya, fungsi
distraktornya, validitasnya maupun reliabilitasnya.
F.
Konversi Nilai dalam Bentuk Kombinasi
Dalam menentukan nilai dengan
menggunakan konversi nilai kombinasi berarti kita menggabungkan antara
PAP (penilaian acuan patokan) dan PAN (penilaian acuan norma).
Dalam mengkonversi nilai dengan
menggunakan metode kombinasi antara PAP dan PAN, hal pertama yang kita lakukan
adalah membandingkan terlebih dahuluantara
jumlah siswa yang mencapai nilai A, B, C, D, dan E pada penentuan nilai yang
menggunakan standar mutlak(PAP : Penilaian Acuan Patokan) dengan penentuan
nilai yang menggunakan standar relatif (PAN : Penilaian Acuan Norma).
Dengan mengkombinasikan PAP dan PAN, maka kita akan bisa melihat lebih jelas
kelemahan dan kelebihan dari dua pendekatan tersebut. Sehingga, hasil penilaian
akan lebih sempurna.
G. Cara
Mengkonversi Nilai Norma Kelompok skala 5
Contoh:Seorang
guru Bahasa Indonesia membina 80 orang peserta didik, ia berencana
mengolah dengan PAN skor akhir Bahasa Indonesia menjadi nilai standar. Skornya
seperti pada tabel berikut:
79 49 48 74 81 98 87 8080 84 90 70 91 93 82 78
70 71 92 38 56 81 74 7368 72 65 51 65 93 83 86
90 35 83 73 74 43 86 8892 93 76 71 90 72 67 75
80 91 61 72 97 91 88 8170 74 99 95 80 59 71 77
63 60 83 82 60 67 89 6376 63 88 70 66 88 79 75
Dalam
mengkonversi nilai acuan norma kelompok, ada beberapa langkah yang harus
dilakukan terlebih dahulu. Sebagai berikut :
Menghitung
dan s
a.
Menentukan rentang
Rentang (r) =
data terbesar – data terkecil
= 99 – 35 = 64
b.
Menentukan
banyak kelas interval
Banyak kelas (k) = 1+ 3,3 . log n
= 1 + 3,3 . log 80
= 1 + 3,3 . 1, 9031
= 7,2802
Catatan : nilai “k” dibulatkan sehingga
banyak kelas interval = 7
c.
Menentukan panjang kelas
Panjang kelas =
= 64
=9,14
Catatan : Khusus untuk panjang kelas
pembulatan dapat tidak mengikuti rekuensi kelompok kaidah matematik, jadi kalau
pembulatan ke atas (=10) atau ke bawah (=9). Alasan : supaya semua skor dapat
masuk ke dalam setiap kelas interval.
d.
Membuat tabel distribusi frekuensi kelompok
Mula-mula menentukan ujung bawah kelas
interval pertama. Ujung bawah kelas interval pertama=35 (diambil skor
terkecil). Dengan banyak kelas interval 7 serta panjang kelas 9 dan 10 dapat
disusun dua buah rencana kelas interval sebagai berikut :
Panjang kelas=9
Kelas interval
|
Frekuensi
|
35-43
44-52
53-61
62-70
71-79
80-88
89-97
|
Panjang kelas=10
Kelas interval
|
Frekuensi
|
35-44
45-54
55-64
65-74
75-84
85-94
95-104
|
Kelas Interval
|
Fi
|
35-44
45-54
55-64
65-74
75-84
85-94
95-104
|
3
3
8
22
20
20
4
|
Jumlah
|
80
|
e. menentukan
dan s
Kelas interval
|
fi
|
Xi
|
Fixi
|
fixi'
|
fixi' 2
|
|
35-44
45-54
55-64
65-74
75-84
85-94
95-104
|
3
3
8
22
20
20
4
|
39.5
49.5
59.5
69.5
79.5
89.5
99.5
|
118.5
148.5
476
1529
1590
1790
398
|
+3
+2
+1
0
-1
-2
-3
|
+9
+6
+8
0
-20
-40
-12
|
27
12
8
0
20
80
36
|
Jumlah
|
80
|
-
|
6050
|
0
|
-49
|
183
|
Berdasarkan tabel di atas ditentukan
nilai dan s
Maka =
=
= 75,6 (dibulatkan
76)
Maka, s =
i
=10
= 10
= 13,82 (dibulatkan 14)
1. Membuat dan
mengkonversi nilai dengan PAN skala 5
Menentukan batas nilai :
+ 1,5
s
76 + 1,5 . 14 =
97
A
+ 0,5 s 76 +
0,5 . 14 =
83
B
+ -0,5
s
76
-0,5 . 14 = 69
C
- 1,5
s 76 – 1,5 . 14 =
55
D
Membuat pedoman
konversi skala -5 :
Interval skor
|
Nilai
|
97 keatas
|
A
|
83-96
|
B
|
69-82
|
C
|
55-68
|
D
|
54 kebawah
|
E
|
Mengkonversi skor menjadi nilai
skala-5:
Peserta kolom 1 nomor urut ...
|
Prestasi
|
|
Skor
|
Nilai
|
|
1
|
79
|
C
|
2
|
80
|
C
|
3
|
70
|
C
|
4
|
68
|
D
|
5
|
90
|
B
|
6
|
92
|
B
|
7
|
80
|
C
|
8
|
70
|
C
|
9
|
63
|
D
|
10
|
76
|
C
|
BAB III
KESIMPULAN
Konversi adalah pengubahan atau
pengolahan skor mentah hasil tes belajar menjadi nilai standar. Skor adalah
hasil pekerjaan memberikan angka yang diperoleh dengan jalan menjumlahkan
angka-angka bagi setiap butir item yang oleh testee telah dijawab dengan betul,
dengan memperhitungkan bobot jawaban betulnya.
Nilai pada dasarnya adalah angka atau
huruf yang melambangkan seberapa jauh atau seberapa besar kemampuan yang telah
ditunjukkan oleh testee terhadap materi atau bahan yang diteskan, sesuai dengan
tujuan instruksional khusus yang telah ditentukan.
Ada 3 cara dalam mengkonversi nilai
tersebut, yaitu :
1) Konversi nilai absolut
2) Konversi nilai norma relatif
3) Konversi nilai kombinasi
Teknik konversi skor
mentah hasil belajar -berupa skor rata-rata dari berbagai tes dan komponen lain
seperti kehadiran dan tugas- dengan mendasarkan diri pada Standar Relatif yang
dikenal juga dengan istilah Penilaian Beracuan Norma (PAN) atau Penilaian
Beracuan Kelompok (PAK) lebih tepat digunakan pendidik di perguruan tinggi
dalam menentukan nilai akhir prestasi belajar mahasiswanya. Dengan menggunakan
standar ini pendidik akan terhindar dari kesalahan-kesalahan dalam penilaian
prestasi belajar mahasiswa seperti rentangan nilai terlalu kecil, penilaian
terlalu murah atau mahal serta penilaian yang tidak reliable.
DAFTAR PUSTAKA
Dimyati
dan Mudjiono,
1999. Belajar dan Pembelajaran.
Jakarta: PT Rineka Cipta,
Zainal Arifin, Evaluasi
Pembelajaran,2009. Bandung : PT Remaja Rosdakarya
Anas Sudijono, 2007.
Pengantar Evaluasi
Pendidikan, Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.
Muhammad Nurman, 2015. Evaluasi Pendidikan . Institut Agama Islam Negeri (IAIN) mataram
[3]
Ibid h. 222
[4]
Ibid h.223
[5] Anas Sudijono, Pengantar Evaluasi Pendidikan, ( Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2007), h. 309
[6] Ibid 310
[7]
Ibid 311
[8]
Ibid 312
[9]
Muhammad Nurman, Evaluasi Pendidikan ,
( Institut Agama Islam Negeri (IAIN) mataram : 2015), h.117
[10] Ibid h. 118
Tidak ada komentar:
Posting Komentar